The Snow Bride
Many years ago, when great forests still covered
the hills of Japan, a samurai named Hikaru lost his way in a sudden winter
storm. Snow pellets sharp as spears pierced his cloak and drove him blindly
into the deep woods.
Dahulu kala, ketika hutan-hutan besar masih
menyelimuti perbukitan Jepang, seorang samurai bernama Hikaru kehilangan arah
dalam sebuah badai musim dingin yang mendadak.
Cold stalked him, and he had no weapon to battle
this invisible enemy. Finally his horse burst into a clearing. The wind rattled
the tree limbs, but no snow fell here. A wooden house squatted beside a huge
camphor tree. The snow was a smooth white carpet. This quiet place seemed
peaceful enough, but he sensed someone watching, waiting in silence.
Dingin mengikutinya, dan dia tidak mempunyai
senjata untuk melawan musuh yang tidak tampak ini. Akhirnya kudanya tiba2 masuk
ke sebuah pembukaan hutan. Angin menderik dahan pohon, tetapi tidak ada salju
turun disana. Sebuah rumah dari kayu berdiri disamping pohon kapur barus yang
besar.
A door opened. A white-haired woman studied him.
Holding out her arms, she murmured, “Welcome, my lord. Enter and feel no fear.”
Sebuah pintu terbuka. Seorang wanita berambut putih
mengamatinya. Berpegang lengannya, dia berbisik, “Selamat datang tuanku.
Silahkan masuk dan jangan merasa takut”
Hikaru smiled. He had killed fear long ago. But his
horse ran away from the tiny hut. The samurai pulled the reins and drove it
forward until the horse reluctantly moved forward. He found a lean-to built on
the side of the hut, sheltered on one side by the hut and on the other by the
tree. When his mount discovered some hay, its hunger drove out all fear. He
left the animal peacefully grazing and went to find his hostess.
HIkaru senyum. Dia telah membunuh rasa takut jauh
sebelumnya. Tetapi kudanya berlari jauh dari gubuk kecil tersebut. Samurai
tersebut menarik tali kendali dan menggerakkannya ke depan hingga kuda dengan
malas berpindah ke depan. Dia menemukan sebuah atap serambi yang dibangun di samping
gubuk. Member tempat pada bagian samping gubuk dan yang lainnya dengan pohon.
Ketika tunggangannya (kuda) menemukan beberapa jerami, kelaparannya
menghilangkan segala ketakutannya. Dia meninggalkan hewan itu dengan damai
memakan rumput dan pergi untuk mencari nyonya rumahnya.
The hut was simply furnished, though firelight
created a golden sparkle off the dishes and cups she set before him. Where had
this woman found such luxuries, he wondered as she silently served him.
Gubuk tersebut berperabot sederhana, meskipun lilin
menimbulkan kilau emas dari piring dan cangkir yang dia tata sebelum dia
(datang). Dimana wanita ini menemukan hal2 mewah ini, dia heran saat wanita
tersebut menjamunya dengan diam.
After he had eaten, he fixed his eyes on her. “Who are
you?”
Setelah dia makan, dia terus menerus menatap
matanya kepada wanita tersebut. “Siapa Kamu?”
She kept her gaze modestly lowered. “I am called
Yuki, my lord. This place is my home.”
Dia menjaga pandangan turun secara sederhana. “Saya
dipanggil Yuki”. Tempat ini adalah rumah saya.
Yuki glided around the room in a silken whisper.
Gradually he became aware of how quiet the woods had become. “Are you not
lonely here?”
Yuki bergerak dengan luwes mengelilingi ruangan
dengan gaun dari sutera.
Her lips quirked in a shadow of a smile. “You are
here, my lord. As long as you are pleased with me, how could I be lonely?”
Bibirnya senyum sesuai dengan kebiasaannya.”Kamu di
sini,Tuanku. Selama anda senang dengan saya bagaimana dapat saya sendiri? ”
Time passed, but it was always winter. Hikaru
forgot everything but the lovely woman who anticipated his wants. As soon as he
thought, “I want – “ Yuki was there, offering food and drink to fill his belly
or song to soothe his soul. Yet men are never content. For a warrior, even an
earthly paradise can become a wicked prison.
Waktu berlalu, tetapi itu selalu musim dingin.
Hikaru lupa segala sesuatu tetapi wanita yang baik budi yang memenuhi terlebih
dulu. Seketika dia berpikir, “Saya ingin -” Yuki sudah ada disana, menawarkan
makanan dan minuman untuk memenuhi perutnya atau bernyanyi untuk menenangkan
jiwanya. Namun orang laki-laki tidak pernah puas. Untuk seorang prajurit,
sebuah surga duniapun dapat menjadi sebuah tempat tahanan orang jahat.
One day, Hikaru woke with anger. Nothing Yuki said
or did pleased him.
Suatu hari, Hikaru bangun dengan marah. Tidak ada
yang Yuki katakan atau lakukan menyenangkan dia.
Dashing dishes off the table, the tiny crashes
echoed how he’d destroyed his enemies in the past. The memory inflamed his
temper. Enough of this quiet and inaction! He could find that in death.
Dia melempar piring dari meja, serempetan kecil
menggema bagaimana dia telah membinasakan musuh2nya di masa lalu. Ingatan
mengobarkan kemarahannya. Cukup dari kediaman dan ketidakgiatan ini! Dia dapat
menemukan itu dalam kematian.
“My lord, tell me how I have displeased you. I – ”
“Tuanku, katakana kepadaku bagaimana saya telah
tidak menyenangkan anda. Saya…”
“You, woman!” he snapped. “You’ve kept me prisoner
in this place far too long!”
“Kamu, wanita!” dia membentak. “Kamu telah
memelihara saya sebagai seorang tahanan di tempat ini terlalu lama”
He rushed to the door and flung it open. A cold
breeze brushed his cheek. Yuki grasped his sleeve. “My lord! Do not leave!”
Dia buru2 keluar pintu dan meloloskan diri saat itu
terbuka. Angin sepoi2 yang dingin menyentuh pipinya. Yuki menggenggam lengan
baju Hikaru. “Tuanku, jangan pergi”
“Enough!” The samurai jerked from her grip. Rage
boiled in his heart as he backhanded her. “Out of my way, woman!”
“Cukup!” Samurai merenggut dari genggamannya.
Kemarahannya mendidih dalam hatinya ketika dia menghina Yuki. “Pergi dari
hidupku wanita!”
“As you wish.” The mark of his hand seemed a dark
bruise on her pale skin. “I will bother you no more.” Head bowed, Yuki stepped
aside. The door swung shut between them.
“Seperti yang anda minta” Tanda dari tangannya
nampak memar hitam di kulit Yuki yang pucat.”Saya tidak akan mengganggumu lagi”
kepala membungkuk,Yuki melangkah ke samping. Pintu berayun menutup diantara
mereka.
A low moan shuddered amongst the trees. Wind
whipped his helm from his head and his cloak off his shoulders. Cold knifed his
body, just beneath the heart.
Suara rintihan gemetar yang rendah diantara
pepohonan. Angin menebas helm Hikaru dari kepalanya dan mantelnya lepas dari
bahunya.Dingin menikam tubuhnya, dibawah hatinya.
“Yuki?” Blinded, Hikaru stumbled backwards, but
tree bark scraped his questing hands. Where was the hut? It was cold, so cold.
“Yuki?” tanpa bisa melihat, Hikaru tersandung dan
berputar, tetapi pohon salak menggores tangannya yang meraba-raba. ”Dimana
gubuknya? Ini dingin, sangat dingin”
Spring came late that year. Birdsong welcomed the
sun’s return. The golden fingers of the goddess Amateratsu caressed the still
alabaster face of the sleeping man. But he never wakened. As she continued her
journey across the sky, cherry trees covered the silken clad form with tiny
pink-edged petals, a living blanket of snow.
Musim semi dating terlambat tahun ini. Suara burung
menyambut kembalinya matahari. Jari emas dari Dewi Amateratsu mengusap
permukaan batu pualam yang berwarna putih dari orang lelaki yang tidur
(Hikaru). Tetapi dia tidak pernah terbangun. Ketika dia melanjutkan
perjalanannya melewati langit, pohon2 cerry menutupi baju sutera dengan tepinya
ada daun bunga berwarna pink, sebuah selimut kehidupan dari salju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar