Rabu, 23 April 2014

the snow bride



The Snow Bride
Many years ago, when great forests still covered the hills of Japan, a samurai named Hikaru lost his way in a sudden winter storm. Snow pellets sharp as spears pierced his cloak and drove him blindly into the deep woods.
Dahulu kala, ketika hutan-hutan besar masih menyelimuti perbukitan Jepang, seorang samurai bernama Hikaru kehilangan arah dalam sebuah badai musim dingin yang mendadak.

Cold stalked him, and he had no weapon to battle this invisible enemy. Finally his horse burst into a clearing. The wind rattled the tree limbs, but no snow fell here. A wooden house squatted beside a huge camphor tree. The snow was a smooth white carpet. This quiet place seemed peaceful enough, but he sensed someone watching, waiting in silence.
Dingin mengikutinya, dan dia tidak mempunyai senjata untuk melawan musuh yang tidak tampak ini. Akhirnya kudanya tiba2 masuk ke sebuah pembukaan hutan. Angin menderik dahan pohon, tetapi tidak ada salju turun disana. Sebuah rumah dari kayu berdiri disamping pohon kapur barus yang besar.

A door opened. A white-haired woman studied him. Holding out her arms, she murmured, “Welcome, my lord. Enter and feel no fear.”
Sebuah pintu terbuka. Seorang wanita berambut putih mengamatinya. Berpegang lengannya, dia berbisik, “Selamat datang tuanku. Silahkan masuk dan jangan merasa takut”

Hikaru smiled. He had killed fear long ago. But his horse ran away from the tiny hut. The samurai pulled the reins and drove it forward until the horse reluctantly moved forward. He found a lean-to built on the side of the hut, sheltered on one side by the hut and on the other by the tree. When his mount discovered some hay, its hunger drove out all fear. He left the animal peacefully grazing and went to find his hostess.
HIkaru senyum. Dia telah membunuh rasa takut jauh sebelumnya. Tetapi kudanya berlari jauh dari gubuk kecil tersebut. Samurai tersebut menarik tali kendali dan menggerakkannya ke depan hingga kuda dengan malas berpindah ke depan. Dia menemukan sebuah atap serambi yang dibangun di samping gubuk. Member tempat pada bagian samping gubuk dan yang lainnya dengan pohon. Ketika tunggangannya (kuda) menemukan beberapa jerami, kelaparannya menghilangkan segala ketakutannya. Dia meninggalkan hewan itu dengan damai memakan rumput dan pergi untuk mencari nyonya rumahnya.

The hut was simply furnished, though firelight created a golden sparkle off the dishes and cups she set before him. Where had this woman found such luxuries, he wondered as she silently served him.
Gubuk tersebut berperabot sederhana, meskipun lilin menimbulkan kilau emas dari piring dan cangkir yang dia tata sebelum dia (datang). Dimana wanita ini menemukan hal2 mewah ini, dia heran saat wanita tersebut menjamunya dengan diam.

After he had eaten, he fixed his eyes on her. “Who are you?”
Setelah dia makan, dia  terus menerus menatap matanya kepada wanita tersebut. “Siapa Kamu?”

She kept her gaze modestly lowered. “I am called Yuki, my lord. This place is my home.”
Dia menjaga pandangan turun secara sederhana. “Saya dipanggil Yuki”. Tempat ini adalah rumah saya.

Yuki glided around the room in a silken whisper. Gradually he became aware of how quiet the woods had become. “Are you not lonely here?”
Yuki bergerak dengan luwes mengelilingi ruangan dengan gaun dari sutera.

Her lips quirked in a shadow of a smile. “You are here, my lord. As long as you are pleased with me, how could I be lonely?”
Bibirnya senyum sesuai dengan kebiasaannya.”Kamu di sini,Tuanku. Selama anda senang dengan saya bagaimana dapat saya sendiri? ”

Time passed, but it was always winter. Hikaru forgot everything but the lovely woman who anticipated his wants. As soon as he thought, “I want – “ Yuki was there, offering food and drink to fill his belly or song to soothe his soul. Yet men are never content. For a warrior, even an earthly paradise can become a wicked prison.
Waktu berlalu, tetapi itu selalu musim dingin. Hikaru lupa segala sesuatu tetapi wanita yang baik budi yang memenuhi terlebih dulu. Seketika dia berpikir, “Saya ingin -” Yuki sudah ada disana, menawarkan makanan dan minuman untuk memenuhi perutnya atau bernyanyi untuk menenangkan jiwanya. Namun orang laki-laki tidak pernah puas. Untuk seorang prajurit, sebuah surga duniapun dapat menjadi sebuah tempat tahanan orang jahat.

One day, Hikaru woke with anger. Nothing Yuki said or did pleased him.
Suatu hari, Hikaru bangun dengan marah. Tidak ada yang Yuki katakan atau lakukan menyenangkan dia.

Dashing dishes off the table, the tiny crashes echoed how he’d destroyed his enemies in the past. The memory inflamed his temper. Enough of this quiet and inaction! He could find that in death.
Dia melempar piring dari meja, serempetan kecil menggema bagaimana dia telah membinasakan musuh2nya di masa lalu. Ingatan mengobarkan kemarahannya. Cukup dari kediaman dan ketidakgiatan ini! Dia dapat menemukan itu dalam kematian.

“My lord, tell me how I have displeased you. I – ”
“Tuanku, katakana kepadaku bagaimana saya telah tidak menyenangkan anda. Saya…”

“You, woman!” he snapped. “You’ve kept me prisoner in this place far too long!”
“Kamu, wanita!” dia membentak. “Kamu telah memelihara saya sebagai seorang tahanan di tempat ini terlalu lama”

He rushed to the door and flung it open. A cold breeze brushed his cheek. Yuki grasped his sleeve. “My lord! Do not leave!”
Dia buru2 keluar pintu dan meloloskan diri saat itu terbuka. Angin sepoi2 yang dingin menyentuh pipinya. Yuki menggenggam lengan baju Hikaru. “Tuanku, jangan pergi”

“Enough!” The samurai jerked from her grip. Rage boiled in his heart as he backhanded her. “Out of my way, woman!”
“Cukup!” Samurai merenggut dari genggamannya. Kemarahannya mendidih dalam hatinya ketika dia menghina Yuki. “Pergi dari hidupku wanita!”

“As you wish.” The mark of his hand seemed a dark bruise on her pale skin. “I will bother you no more.” Head bowed, Yuki stepped aside. The door swung shut between them.
“Seperti yang anda minta” Tanda dari tangannya nampak memar hitam di kulit Yuki yang pucat.”Saya tidak akan mengganggumu lagi” kepala membungkuk,Yuki melangkah ke samping. Pintu berayun menutup diantara mereka.

A low moan shuddered amongst the trees. Wind whipped his helm from his head and his cloak off his shoulders. Cold knifed his body, just beneath the heart.
Suara rintihan gemetar yang rendah diantara pepohonan. Angin menebas helm Hikaru dari kepalanya dan mantelnya lepas dari bahunya.Dingin menikam tubuhnya, dibawah hatinya.

“Yuki?” Blinded, Hikaru stumbled backwards, but tree bark scraped his questing hands. Where was the hut? It was cold, so cold.
“Yuki?” tanpa bisa melihat, Hikaru tersandung dan berputar, tetapi pohon salak menggores tangannya yang meraba-raba. ”Dimana gubuknya? Ini dingin, sangat dingin”

Spring came late that year. Birdsong welcomed the sun’s return. The golden fingers of the goddess Amateratsu caressed the still alabaster face of the sleeping man. But he never wakened. As she continued her journey across the sky, cherry trees covered the silken clad form with tiny pink-edged petals, a living blanket of snow.
Musim semi dating terlambat tahun ini. Suara burung menyambut kembalinya matahari. Jari emas dari Dewi Amateratsu mengusap permukaan batu pualam yang berwarna putih dari orang lelaki yang tidur (Hikaru). Tetapi dia tidak pernah terbangun. Ketika dia melanjutkan perjalanannya melewati langit, pohon2 cerry menutupi baju sutera dengan tepinya ada daun bunga berwarna pink, sebuah selimut kehidupan dari salju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar